Senin, 30 Januari 2012

Brand New Day


Dalam hidup ini kita nggak punya tombol restart, undo, atau ctrl+alt+del.  Orang-orang yang merasa setiap bagian hidupnya baik-baik saja, indah-indah saja pasti nggak ngrasain betapa “mengulang”, “memulai baru” adalah hal yang sangat berarti. Lain halnya dengan orang-orang yang hidupnya bagaikan mahasiswa yang menjalani pretest berkali-kali dan tetap inhal, mirip perasaan para pelajar yang nilainya di bawah KKM lalu mohon-mohon minta remidi. Berdiri di satu titik di mana kita merasa jika kita punya kesempatan untuk mengulang, kita akan mampu melakukannya lebih baik. Sayangnya, hidup ini nggak sesimple laptop, nggak semudah microsoft word, dan nggak mirip mesin ketik yang ketika ada salah tulis kita bisa ganti kertas baru.
Sering terjadi dalam hidup kita, ketika ada hubungan yang bermasalah, entah dalam hubungan berpacaran atau pertemanan, kita mengucapkan, “ Brand new day ya!”, dan merasa sudah berhasil menekan tombol restart “klik”. Does it really work? Let’s see this one :
Seorang cowok yang ketauan selingkuh berusaha meyakinkan ceweknya.
Cowok  : Sayang, percaya deh, aku bakal berubah. Aku yakin nggak ada cewek yang bisa ngertiin aku (baca: dibegoin) kayak kamu. Kasih aku kesempatan sekali lagu untuk nunjukin keseriusanku.
Cewek  : Aku nggak tau.. aku nggak ngerti! Aku salah apa sampe kamu selingkuh.
Cowok  : Percaya aku, cuma kamu yang aku sayang. Udah ya, kamu bakal tau aku serius.
Cewek  : Beneran kamu nggak akan kaya gitu lagi?
Cowok  : iya.. swear. Kita lupain aja ya semuanya ini. Bener-bener brand new day.
Cewek  : (senyum, dalam hati : Lupain?? Enak aja!! Emang kamu doang yang bisa? Pembalasanku bakal lebih kejam!)
Cowok  : (senyum, dalam hati : lain kali, aku bakal lebih hati-hati.)

 Kalo sesi “ Brand new day” –nya orang pacaran nggak sukses palingan juga putus. Udah biasa denger kata mantan pacar, tapi mantan sahabat bakal jadi rada janggal. Ini ngingetin aku sama kejadian beberapa tahun yang lalu. Sasa dan aku, we were just like a pair of perfect shoes back then, at least that’s what I thought. Kemana-mana kita selalu bareng, ngurus ini, ngurus itu, kegiatan ini, panitia itu. Susah seneng kita lewatin sama-sama, ketawa bareng, nangis bareng. Nggak ada yang paham aku sebaik dia, begitu pun sebaliknya. Aku yang cerewet, manja, kolokan; dia yang wise, sederhana, dewasa. We knew each other, very well. Semuanya baik-baik aja, sampai ada sosok Dion di antara kami. Dulu aku pikir dia “wow”, tapi sekarang dia tampak seperti cowok-cowok lain.
Aku sadar dia sengaja tebar pesona di mana-mana. Walaupun aku nggak paham kenapa. Yang aku tau, kami berdua sama-sama jatuh. Dan ketika itu terjadi, kami tidak mampu saling mengangkat. Yang kami tau hanya membuat satu sama lain tidak semakin terluka. Kami jatuh cinta diam-diam. Satu-satunya rahasia yang tidak kami bagi bersama.  Kami menyimpan segalanya sampai akhirnya kami tau, Dion “jadian” sama cewek lain.
“ Well”, Sasa memulai percakapan, “ jadi kita udah tau dia kayak apa.”
“ He’em.”
“ Sebenernya kalian deket kan? Ngaku deh.”
“ Kamu juga kan?”
Kami sama-sama tersenyum.
“ Udah lah ya, nggak usah mikirin dia lagi. Inget, habis ini nggak ada yang boleh mikir buat jadi pacarnya.”
“ Alright.”
“ Jadi, ceritain dong selama ini kalian kemana aja, ngapain aja, ngomongin apa aja. I’ll tell you mine.”
Dan begitulah kami mendeklarasikan “brand new day”.
Sebulan kemudian Dion putus. Bagiku, itu udah nggak penting lagi. Bukankah kami memilih untuk nggak peduli? Ketika kemudian kudengar Sasa dan Dion kembali dekat, aku terkejut memang, tapi lalu aku memilih untuk nggak ganggu mereka.Kuputuskan akan mengubur baik-baik semuanya. Orang-orang sekitarku, terlebih lagi Dion, nggak boleh tau. Cukup begitu saja. Hilang tanpa bekas. Itu membuatku lebih mudah melangkah. Nggak mau aja punya suasana akward sama pacar sahabatku sendiri. Tapi cerita mengejutkan kudengar dari mulut Sasa, “ Maaf, aku nggak sengaja cerita semuanya ke Dion.”
“ Semuanya apa sih? “
“ Ya apa yang kamu rasain ke dia, semuanya.”
“ What? ”
Hening.
“ Kenapa?”
“ Aku keceplosan, terus dia desak aku.”
Hening.
“ Ah kamu... gimana dong?!Aku cuma nggak mau Dion aneh sama aku nanti.” Aku mencoba bicara sebiasa mungkin, seringan mungkin.
“ Bentar ya.” Sasa meninggalkan ruangan rapat. Tak lama kemudian ia kembali lagi.
“ Dion bilang, dia nggak akan ngerubah sikapnya ke kamu kok. Barusan aku telepon dia”
What? Telepon dia? Ngadu gitu? Tolol ya kamu ya?/!!! arrgghhh.... itu cuma bisa kuteriakkan dalam hati. Speechless. Bener-bener “patah”. Bukan karna Dion. Justru sahabatku sendiri yang membuatku berkeping-keping. You tell him my secret Sa, means you kill my faith in you.
Aku menjauh. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan ketika aku nggak bisa membencinya ataupun membagi hidupku dengannya lagi. Aku merindukan masa yang menyenangkan bersamanya, tapi nggak cukup bijaksana untuk mengatasi rasa kecewaku. Kehilangan kepercayaanku berarti aku kehilangan sahabatku. Dan itu sangat menyakitkan.
Setahun berlalu sejak terkhir kali kami benar-benar “bicara” satu sama lain. Sampai akhirnya aku merasa tidak perlu lagi memperpanjang ini. Capek. Capek merasa sakit hati. Capek merasa di suatu tempat, ada hal yang belum selesai. Aku memutuskan untuk meletakkan beban ini, berdamai dengan diri sendiri, dan memaafkan seutuhnya. Aku menulis pesan di account facebook-nya tentang betapa sesungguhnya aku merindukan waktu bersamanya, dan bahwa aku sudah memaafkannya. Lalu minta maaf jika secara sengaja atau tidak, aku pun menyakitinya. Dia menyambut hal itu dengan gembira dan di hari itu kami ber-“brand new day”.
Tadinya kami befikir segalanya akan kembali seperti dulu, tapi ternyata tidak banyak yang berubah. Aku dengan kehidupaku, dia dengan kehidupannya. Kami merasa segan, bahkan merasa tidak perlu saling berbagi. Tombol “restart” yang kami tekan tidak berfungsi semestinya. Mungkin kami sudah lupa caranya saling membutuhkan. Mungkin lubang-lubang yang sebelumya ada di hati kami sudah penuh terisi hal-hal lain. Mungkin yang dia butuhkan bukan lagi aku, yang aku butuhkan bukan lagi dia. Mungkin selama ini yang kami butuhkan hanyalah rasa memaafkan dan dimaafkan. Itu saja.
Lega. Tanpa beban. Kami melangkah maju meniti jalan hidup kami masing-masing. Terkadang kami bertegur sapa dan saling melempar senyum. Mungkin waktu ini cukup untuk mendewasakan. Mungkin waktu ini cukup untuk menyembuhkan. Kemudian aku sadar bahwa memaafkan bukan berarti siap untuk mengulang lagi. Bahwa kepercayaan bagaikan vas keramik yang kalau sudah pecah, sekeras apa pun kita mencoba menyatukannya kembali, tidak akan pernah sama lagi. Dan bahwa “brand new day” bisa berarti “mari kita mulai segalanya dari awal, saat aku belum mengenalmu”.